Si Tangan Ajaib Itu Bernama Ibu...
Krinngg.. Krinnggg....
"Telepon dari siapa tuh?"
Krinnggg...
"Biasa nenek lampir"
"Nenek lampir? siapa tuh? Angkat dong telponnya.."
"Ah nggak penting kok..."
Apakah salah satu dari kita pernah menemukan percakapan seperti itu? Atau justru malah kita yang melakukan hal itu??? Memanggil seseorang dengan sebutan nenek lampir padahal dia adalah wanita yang telah melahirkan dan membesarkan kita.
Mendengar kata "Ibu" saat kita masih remaja mungkin yang terbayang adalah wanita yang cerewet, galak, suka memerintah dan nyebelin. Walaupun tidak semua ibu seperti itu, tapi 'perhatian lebih' dari sang ibu seringkali dianggap 'lain' oleh anak-anaknya. Ketika seorang ibu menyuruh anaknya untuk segera pulang setelah selesai les, atau tidak boleh keluar rumah saat menjelang malam kebanyakan dari kita menganggap bahwa ibu sangat kejam, tidak mengerti dunia remaja, dan lain -lain. Padahal mungkin ibu memiliki kekhawatiran dan alasan tertentu untuk melarang kita berbuat ini itu.
Sudahkah kita mengenal Ibu lebih jauh?
Bukan sebagai Ibu yang cerewet dan tukang ngatur, tapi Ibu yang telah mengorbankan setiap detik waktunya untuk kita. Sembilan bulan kita hidup dirahim ibu, membuatnya mual dan muntah selama 4 bulan karena morning sickness.
Membuatnya sulit tidur dimalam hari karena punggung yang sakit.
Membuatnya mempertaruhakan nyawa dan berjuang untuk melahirkan kita.
Tidak berhenti sampai disitu, Air Susu Ibu-lah sumber kehidupan kita selama 6 bulan pertama.
Ibu yang memandikan kita dengan hati-hati bak memandikan bidadari. Kedua tangannya yang dengan lembut memapah kita saat belajar berjalan, menangkap dengan sigap saat kita terjatuh.
Berulang terus seperti itu sampai kita mahir berlari kesana kemari....
Lalu bagaimana bisa sebutan nenek lampir melekat padanya?
Pantaskah seorang Ibu mendapat cap 'tidak penting' dari anak-anaknya? Sementara sebelum Ibu sempat makan, yang dia ingat adalah menyuapi anaknya terlebih dahulu. Mungkin Ibu tidak berpendidikan tinggi, tapi Ia yang paling bersemangat mengantar kita mendaftar kuliah. Bisa jadi Ibu tak secantik orang lain, Ibu kuper, Ibu malu-maluin, tapi baju-baju baru kita selalu menjadi prioritasnya.
Saat kita beranjak dewasa lalu menikah, Ibulah satu-satunya orang yang akan sering menangisi kita karena merasa kehilangan. Ibulah yang paling khawatir apakah rumah tangga kita bahagia atau tidak. Ibulah yang paling sigap mengurus cucu-cucunya kelak saat kita harus kembali bekerja mencari uang yang katanya demi masa depan anak.
Lalu saat kita tertimpa musibah atau rumah tangga sedang goyah, tangan-tangan ajaib Ibu pula yang mengusap air mata kita. Menenangkan kita dengan berbait-bait nasehat kehidupan. Memeluk kita dengan senyum tegarnya, walaupun mungkin dia menyembunyikan luka yang sama dengan apa yang kita rasakan.
Ibu, maafkan Aku, maafkan kami yang seringkali mengabaikanmu. Sementara dalam hidupmu, anak-anakmu yang nomor satu.
Ibu, warisi kami tangan-tangan ajaibmu...
Agar kami tak mudah memukul dan mencubit anak-anak kami yang rewel.
Agar kami tak mudah lelah mengurus keluarga.
Agar kami senantiasa memberikan belaian lembut dan pelukan hangat untuk anak-anak kami kelak.
Aku menyayangimu, Ibu...
"Telepon dari siapa tuh?"
Krinnggg...
"Biasa nenek lampir"
"Nenek lampir? siapa tuh? Angkat dong telponnya.."
"Ah nggak penting kok..."
Apakah salah satu dari kita pernah menemukan percakapan seperti itu? Atau justru malah kita yang melakukan hal itu??? Memanggil seseorang dengan sebutan nenek lampir padahal dia adalah wanita yang telah melahirkan dan membesarkan kita.
Mendengar kata "Ibu" saat kita masih remaja mungkin yang terbayang adalah wanita yang cerewet, galak, suka memerintah dan nyebelin. Walaupun tidak semua ibu seperti itu, tapi 'perhatian lebih' dari sang ibu seringkali dianggap 'lain' oleh anak-anaknya. Ketika seorang ibu menyuruh anaknya untuk segera pulang setelah selesai les, atau tidak boleh keluar rumah saat menjelang malam kebanyakan dari kita menganggap bahwa ibu sangat kejam, tidak mengerti dunia remaja, dan lain -lain. Padahal mungkin ibu memiliki kekhawatiran dan alasan tertentu untuk melarang kita berbuat ini itu.
source.google |
Bukan sebagai Ibu yang cerewet dan tukang ngatur, tapi Ibu yang telah mengorbankan setiap detik waktunya untuk kita. Sembilan bulan kita hidup dirahim ibu, membuatnya mual dan muntah selama 4 bulan karena morning sickness.
Membuatnya sulit tidur dimalam hari karena punggung yang sakit.
Membuatnya mempertaruhakan nyawa dan berjuang untuk melahirkan kita.
Tidak berhenti sampai disitu, Air Susu Ibu-lah sumber kehidupan kita selama 6 bulan pertama.
Ibu yang memandikan kita dengan hati-hati bak memandikan bidadari. Kedua tangannya yang dengan lembut memapah kita saat belajar berjalan, menangkap dengan sigap saat kita terjatuh.
Berulang terus seperti itu sampai kita mahir berlari kesana kemari....
Lalu bagaimana bisa sebutan nenek lampir melekat padanya?
Pantaskah seorang Ibu mendapat cap 'tidak penting' dari anak-anaknya? Sementara sebelum Ibu sempat makan, yang dia ingat adalah menyuapi anaknya terlebih dahulu. Mungkin Ibu tidak berpendidikan tinggi, tapi Ia yang paling bersemangat mengantar kita mendaftar kuliah. Bisa jadi Ibu tak secantik orang lain, Ibu kuper, Ibu malu-maluin, tapi baju-baju baru kita selalu menjadi prioritasnya.
Saat kita beranjak dewasa lalu menikah, Ibulah satu-satunya orang yang akan sering menangisi kita karena merasa kehilangan. Ibulah yang paling khawatir apakah rumah tangga kita bahagia atau tidak. Ibulah yang paling sigap mengurus cucu-cucunya kelak saat kita harus kembali bekerja mencari uang yang katanya demi masa depan anak.
Lalu saat kita tertimpa musibah atau rumah tangga sedang goyah, tangan-tangan ajaib Ibu pula yang mengusap air mata kita. Menenangkan kita dengan berbait-bait nasehat kehidupan. Memeluk kita dengan senyum tegarnya, walaupun mungkin dia menyembunyikan luka yang sama dengan apa yang kita rasakan.
Ibu, maafkan Aku, maafkan kami yang seringkali mengabaikanmu. Sementara dalam hidupmu, anak-anakmu yang nomor satu.
Ibu, warisi kami tangan-tangan ajaibmu...
Agar kami tak mudah memukul dan mencubit anak-anak kami yang rewel.
Agar kami tak mudah lelah mengurus keluarga.
Agar kami senantiasa memberikan belaian lembut dan pelukan hangat untuk anak-anak kami kelak.
Aku menyayangimu, Ibu...
Komentar
Posting Komentar